JODOH
Oleh:
A.A.Navis
Bila jumlah wanita lebih banyak dari pria pada zaman lapangan
kerja
menyempit hingga pengangguran berlimpahan, tidaklah sulit memperoleh
seorang
gadis untuk dijadikan istri. Terutama gadis yang telah berusia dua
puluh lima
tahun lebih. Sebab, masyarakat masih memandang mereka sebagai
oknum yang
menggelisahkan keluarga. Akibatnya, jejaka yang berusia sekitar
tiga puluh tahun
dan punya pekerjaan , seperti Badri, jika mau mengacungkan
telunjuknya kepada
gadis-gadis itu, jadilah ia istrinya.
Beberapa bulan lagi Badri akan genap tiga puluh tahun. Dibandingkan
dengan
angkatannya, ia dipandang sudah terlambat memperoleh istri. Bukan
karena telunjuk
bengkok ataupun kompong, melainkan karena idealismenya yang
meluap-luap
dalam lapangan sosial dan kebudayaan.Ketika ia menyadari bahwa
perjuangan
takkan selesai meski ia hidup terus sebagai jejaka, untuk
memperoleh seorang
tidaklah begitu mudah baginya. Ada tiga macam halangan yang tak
begitu mudah
ditembus akal sehatnya. Demi turunannya, agar generasi muda
mendatang tidak
lagi pendek-pendek tubuhnya, ia merindukan seorang gadis yang
tinggi semampai.
Dan itu tidak mudah ditemuinya dalam masyarakat yang berbakat
pendek.
Halangan lainnya karena Badri berdarah campuran yang dianggap
kurang bermutu
menurut pandangan adat Minangkabau yang lebih menyukai perkawinan
awak
sama awak. Halangan lain ialah kalkulasi biaya hidup yang takkan
klop lagi bila
ia nikah.
Menurut kalkulasinya, setelah membayar uang makan dan sewa kamar
serta hutang-hutang rokoknya, sehabis tanggal lima belas habis
pulalah seluruh
isi kantongnya. Tentu saja logikanya, kalau ia sudah hidup berdua
dengan istrinya
maka mulai tanggal satu tentunya kantongnya sudah akan bolong.
Meski logika
itu tidak seluruhnya benar. Karena menurut kalkulasinya yang lebih
cermat, jumlah
gajinya akan dapat memberi makan seorang lagi, berikut membeli
sepasang
pakaian istrinya sekali setahun. Akan tetapi merokok harus
dihentikan. Dan
menonton film hanya akan dapat dilakukan sekali sebulan.dan itu
tidak soal berat.
Yang terberat ialah jika ia memikirkan konsekuensi perkawinan. Istrinya
tentu
akan hamil dan melahirkan anak. Menurut penelitiannya, ongkos
periksa sekali
wanita hamil sama dengan dua hari gajinya. Biaya bersalin akan
menelan gajinya
sebulan. Belum lagi kalau dihitung pengeluaran untuk membeli
perangkat bayi
mulai popok, gurit, dan tempat tidur mungil. Kesimpulan Badri, ia
tidak bisa nikah
untuk selama-lamanya. Terkecuali bila ia ingin bertingkah laku
seperti rekanrekannya
yang lain. Atau seperti Pak Mudo, pesuruh kantor yang mau
melaksanakan pekerjaan apa saja yang diminta orang di luar
tugas-tugas kantor
dan untuk itu ia mendapat imbalan macam-macam, sehingga dapat
memberi nafkah
istri dan kelima anak-anaknya.
Jalan keluar yang lain, menurut pikiran Badri ialah kawin dengan
seorang
gadis yang punya pekerjaan. Yang lebih baik ialah kalau yang jadi
pegawai negeri.
Sebab pegawai negeri lebih banyak mempunyai keringanan tugas
dibandingkan
dengan pegawai swasta. Pegawai negeri yang terbaik untuk dijadikan
istri ialah
guru sekolah. Karena guru sudah terlatih dengan hidup yang sangat
sederhana.
Akan adakah seorang gadis yang tingginya 160 centi yang jadi guru
sekolah
negeri dan orang tuanya tidak keberatan pada laki-laki yang
berdarah campuran
seperti Badri.
Kebetulan ada. Lena namanya. Umurnya lebih muda tiga tahun. Ia
gadis
yang menyenangkan untuk dipandangi. Sehingga bagi Badri, waktu
terasa begitu
cepat berlalu selagi mereka asyik ngobrol. Tapi setiap Badri
mencoba
meningkatkan pershabatan ke arah percintaan dengan mulai
mengajaknya keluar
malam guna menonton film, senantiasa ada alasan Lena untuk
mengelak. Entah
dengan alasan udara buruk atau filmnya tidak bagus atau badannya
yang kurang sehat.
Hanya sekali Badri berhasil mengajak nonton film. Itu pun karena
menemani
adiknya yang baru datang dari kota lain. Meskipun harapannya tidak
penuh
terhadap gadis itu, pada waktu-waktu tertentu ia selalu
mengunjungi Lena. Dan
ia selalu mendapat sambutan yang hangatnya tak pernah menurun.
Akan tetapi, tibalah satu bencana.
Ketika suatu malam Badri bertandang kembali, Lena tidak membiarkannya
masuk. Malah berkata seperti hendak mengusirnya; “Jangan kemari
lagi!”
Terpana Badri mendengar ucapan gadis itu. Lebih terpana lagi dia
ketika
Lena menyebut nama Rosni, seorang gadis yang sering juga dibawanya
keluar
untuk menonton film.
“Aku tidak serius dengan dia,” kata Badri menangkis.
“Enak benar jadi laki-laki. Begitu sering membawa seorang gadis
keluar
malam, tapi kalau ditanya oleh gadis yang lain, lalu dibilang aku
tidak serius
dengan dia,” umpat Lena dengan tengiknya. Lalu sebelum Badri memberi
alasan,
pintu ditutup dan dikuncinya dari dalam. Tinggalah Badri
terperangah di anak
tangga.
Dengan loyo ditinggalkannya rumah Lena sambil mengutuki dirinya
sendiri
karena sering membawa Rosni keluar malam. Padahal gadis itu tidak
ideal
baginya. Meski wajahnya cukup cantik dengan kulitnya yang mulus
seperti umbut
karena usianya yang masih muda. Rosni sepuluh senti lebih pendek
dari
persyaratan idealnya. Lagi pula terlalu berisi. Tapi yang terutama
tidak punya
pekerjaan yang menghasilkan nafkah.
Sejak itu, Badri kehilangan orang yang paling menyenangkan
hatinya. Ia
mulai menghindari Rosni karena ia tidak mau terlibat terlalu dalam
dengan gadis
itu. Ketika Rosni menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya,
Badri merasa
bebas dari incarannya. Tapi sebaliknya, setiap ia ketemu Lena di
mana pun
juga, selalu gadis itu membuang muka.
Beberapa bulan lagi usianya akan menjadi tiga puluh tahun. Usia
yang
cukup matang untuk menjadi seorang suami menurut pendapatnya. Ia
menyadari
juga sekiranya ia tidak terlalu teguh berpegang pada
prinsip-prinsip hidupnya, ia
akan dapat kawin pada hari ulang tahunnya itu. Asal dia mau
menyesuaikan diri
dengan iklim yang memengaruhi kehidupan masyarakat, soal gaji
kecil sebetulnya
bukan alasan untuk menunda perkawinan. Karena dengan bergaji kecil
sekalipun,
orang dapat menghidupi lima sampai sepuluh nyawa. Bahkan, cukup
banyak
rezekinya sehingga ada di antara mereka yang telah mulai membuat
rumah.
Badri bukan tidak tahu cara menambah penghasilan itu. Tapi,
pikirnya, kalau
tidak mampu memperbaiki dunia, janganlah ikut serta lebih
merusaknya.
Meskipun ia telah menarik kesimpulan, bahwa laki-laki tidak pernah
terlalu
tua untuk memperoleh jodoh, namun jika ingat pada usianya
menjelang tiga
puluh tahun, timbul juga godaan yang kuat dalam dirinya untuk
mencari istri.
Maka mulailah ia meneliti rubrik Kontak Jodoh yang dimuat sekali
seminggu
dalam satu surat kabar di kota kediamannya. Dicatatnya seluruh
gadis yang
mencari jodoh melaui rubrik itu sejak penerbitan tiga bulan
berselang. Catatan
itu diberinya berlajur-lajur seperti pekerjaan, tinggi badan,
umur, dan beberapa
persyaratannya.
Ia menemukan 26 gadis yang ingin mendapat jodoh melalui rubrik itu
dan
7 orang janda. Badri lebih tertarik pada gadis. Dan yang
terpenting semuanya
mempunyai pekerjaan. Sembilan belas diantaranya menjadi pegawai
negeri. Di
antara yang sembilan belas itu ternyata delapan orang yang menjadi
guru. tapi
hanya empat orang yang mempunyai tinggi seperti yang diinginkan
Badri.
Kebetulan keempatnya menyatakan tidak keberatan mendapat jodoh
seperti
kondisi Badri, yakni bukan penduduk asli daerah. Untuk memilih
salah seorang,
Badri menetapkan pilihan pada gadis yang lebih dahulu mengikuti
rubrik itu. Gadis
itu berkode AX/19. Maka segeralah ia menulis surat kepada redaksi untuk
membuat
kontak. Selama dua belas hari menunggu balasan merupakan siksa
dalam
kehidupan Badri. Tapi, lima hari menjelang pertemuan pertama
setelah kontak
surat berlangsung, merupakan hari-hari yang terpanjang yang sangat
menyesakkan
napasnya.
Mereka akan bertemu di depan Toko Lima pada jam lima sore. Gadis
itu
akan mengenakan switer kuning dengan rok lembayung sebagai
pengenal. Sedang
Badri akan mengenakan baju batik dan pengepit segulungan majalah
diikat dengan
pita merah. Badri lebih cepat datang lima menit dari waktu
perjanjian, karena
takut kalau sampai terlambat dari waktunya. Satu menit sebelum jam
lima ia
telah kian gugup meskipun matanya lirak-lirik mencari-cari gadis
yang berswiter
kuning. Persis jam lima ia tak tahan lagi disiksa kegugupan. Lalu
ia menyelonong
dalam toko itu dengan maksud akan mengintip kedatangan gadis itu
dari dalam
toko. Ketika ia baru saja memasuki ambang pintu toko itu, seorang
gadis berswiter
kuning hendak keluar. Mereka saling tertegun dengan matanya
sama-sama
terbeliak. Karena gadis itu lena. Tidak lain.
Tapi belum sempat Badri berpikir, Lena segera terpaling. Kemudian
dengan
langkahnya yang tergesa-gesa berlalu dari situ menyeberangi jalan.
Cepat Badri
menarik kesimpulan, bahwa Lena, pastilah jodohnya. Peristiwa itu
bukanlah suatu
kebetulan, tapi sudah diatur oleh tali nasib. Lalu dikejarnya
gadis itu dengan
langkahnya panjang-panjang. Dan ketika telah dekat digenggamnya
lengan gadis
itu kuat-kuat sambil mengiringkan langkahnya.
“Lepaskan aku,” bentak Lena seraya mencoba membebaskan lengannya
dari genggaman Badri, “Nanti aku berteriak.”
Dan Badri tak percaya bahwa gadis itu akan berani berteriak di
tengah
orang ramai itu. Lalu katanya: “Berteriaklah.”
Di luar dugaannya. Lena betul-betul berteriak. Orang ramai segera
datang
merubungi mereka. Nyaris insiden yang lebih parah berlangsung.
Kalau tidak
seorang polisi mencegah, pastilah Badri akan dikeroyok orang
banyak. Lalu
keduanya dibawa ke gardu polisi terdekat. Di hadapan polisi yang
memeriksa
semua kartu dibuka.
“Gila kau,” kata Lena selesai membaca naskah cerpen yang baru
selesai
ditulis suaminya. “Masa kisah kita mau dibeberkan pada orang
banyak?”
Badri merangkul pinggang istrinya sambil tertawa. Mereka sudah
lama
menikah dan kini telah punya dua orang bayi yang demikian rapat
jarak
kelahirannya. Mereka kawin dengan pesta yang meriah dan upacara
adat yang
tradisional.
Dan semenjak, itu Badri tinggal di rumah mertuanya, seperti juga
suami-suami
lainnya di Minangkabau.
Pola hidup yang matrilineal yang dulu tidak disukai demikian indah
kenyataannya setelah memiliki Lena. Kalkulasi biaya hidup yang
mencemaskan
dulu, ternyata pula tidak perlu diributkan. Malah ketika anaknya
yang kedua
lahir, Lena dianjurkan sendiri untuk berhenti menjadi guru karena
seni hidup
bukanlah perhitungan yang eksak, melainkan penyesuaian diri pada
iklim yang
membentuk masyarakat. Idealisme masa jejakanya ternyata pula suatu
utopia
semata. Idealisme yang membius pada orang-orang yang tidak
mempunyai
beban hidup kekerabatan. Sedangkan idealisme seorang laki-laki
yang telah
menjadi suami dan menjadi seorang ayah ialah idealisme abadi,
yakni bagaimana
membahagiakan istri dan anak-anak.
Dan kalau Badri sesekali membaca surat kabar yang mengisahkan
perjuangan-perjuangan orang-orang untuk mencapai cita-cita,
cepat-cepat Badri
menutup surat kabar itu dan meletakkannya di rak kertas-kertas tua
yang akan
diloakkan mertuanya.
(Berkenalan Dengan Prosa
Fiksi, 2000:177-186)