(Naskah Lomba Tulis Nusantara)
Mentari perlahan-lahan menyapa dengan sejuta senyum penyemangat. Bau dingin masih menyelimuti tubuh yang lunglai di atas gundukan kapuk yang ditutupi kain lebar bermotif bunga berwarna biru itu. Merasa terganggu dengan suara ayam yang bersahut-sahutan. Aku mulai melepas sarung kotak-kotak yang beberapa tahun ini menemani di setiap malam nan sunyi. “Wahh terlambatma ini”, namun aku segera menuju kamar mandi. Mengambil usapan demi usapan air untuk menyucikan diri menghadap kiblat dan memenuhi kewajibanku.
Mentari perlahan-lahan menyapa dengan sejuta senyum penyemangat. Bau dingin masih menyelimuti tubuh yang lunglai di atas gundukan kapuk yang ditutupi kain lebar bermotif bunga berwarna biru itu. Merasa terganggu dengan suara ayam yang bersahut-sahutan. Aku mulai melepas sarung kotak-kotak yang beberapa tahun ini menemani di setiap malam nan sunyi. “Wahh terlambatma ini”, namun aku segera menuju kamar mandi. Mengambil usapan demi usapan air untuk menyucikan diri menghadap kiblat dan memenuhi kewajibanku.
Hehehe,
saat itu usiaku masih dua belas tahun. Usia yang kunanti-nanti setelah sekian
lama aku berjalan menyusuri lorong-lorong sekitar rumahku. Membawa sebuah
sarung dan Al Quran yang telah kusam karena sudah seringkali aku buka. Kadang
aku merasa malas untuk ke
rumah Puang Imam. Puang Imam adalah guru mengaji di daerah sekitar rumahku (Orang yang lebih tua dari kita sudah menjadi kebiasaan dipanggil sebagai Puang). Rasanya aku ingin tidur-tiduran saja di rumah hingga sore menjelang. Namun karena sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang muslim untuk belajar membaca Al Quran. Senantiasa bisa menamatkan bacaan, aku mulai semangat lagi ke tempat mengaji. Aku mempelajari Al Quran mulai dari ma’alepu (mengeja/membaca huruf Hijaiyyah dalam bentuk kata-kata yang pendek), membaca Qoroan Keccuq (Al Quran kecil/juz amma) sampai membaca Qoroan Kayyang (Al Quran besar 30 juz).
rumah Puang Imam. Puang Imam adalah guru mengaji di daerah sekitar rumahku (Orang yang lebih tua dari kita sudah menjadi kebiasaan dipanggil sebagai Puang). Rasanya aku ingin tidur-tiduran saja di rumah hingga sore menjelang. Namun karena sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang muslim untuk belajar membaca Al Quran. Senantiasa bisa menamatkan bacaan, aku mulai semangat lagi ke tempat mengaji. Aku mempelajari Al Quran mulai dari ma’alepu (mengeja/membaca huruf Hijaiyyah dalam bentuk kata-kata yang pendek), membaca Qoroan Keccuq (Al Quran kecil/juz amma) sampai membaca Qoroan Kayyang (Al Quran besar 30 juz).
Di tempat mengaji itu juga ada
teman-teman kelasku. Seringkali di sela-sela waktu kosong setelah kami Mandarras (membaca ulang kembali bacaan
yang telah terlewati) dan saat menunggu Puang Imam mengajarkan kami surah atau
ayat baru, kami bermain petak umpet, maqgalaq
ataupun maqbenteng. Maqgalaq dan maqbenteng adalah permainan tradisional di Mandar. Maqgalaq adalah permainan yang dimainkan
oleh beberapa orang, ada yang sebagai penjaga dan ada yang sebagai penyerang.
Permaianan ini tidak membutuhkan alat, hanya dengan menggambarkan persegi
panjang di tanah dengan garis yang membelah dua persegi panjang tersebut.
Setiap garis terdiri dari satu orang penjaga kemudian penyerang memasuki garis
tersebut hingga mencapai garis belakang dan kembali ke garis awal dengan melewati
para penjaga garis. Sedangkan maqbenteng
adalah permainan yang terdiri dari dua kubu yang saling menyerang antar
pasukannya. Kubu yang dapat menyentuh benteng pertahanan lawan akan menjadi
pemenangnya. Sungguh permainan yang akan tetap melekat dalam ingatan.
“Nak bae-baeki mengaji, harus cepat
tammat supaya nanti dipotongkanki ayam”, pesan Puang Imam pada kami murid-murid
mengajinya. “Iya, nanti bisa naik sayyang
pattuqduq (naik kuda menari) keliling Pamboang”, tambah istri Puang Imam.
Kami pun tersenyum dan saling berpandangan. Timbul rasa persaingan di mata
teman-temanku yang lain. Mungkin mereka berpikir sama denganku yaitu ingin
menjadi yang terbaik di antara yang lain. Yahh namanya juga anak SD, wajarlah
kami berpikiran seperti itu.
Sampai di rumah, aku menceritakan hal
tersebut pada Ibu. Aku bertanya-tanya tentang orang yang naik kuda setelah
Khatam Al Quran. Ibu menyatakan bahwa itu juga disebut Messawe To Tammaq. Messawe
artinya duduk di atas sesuatu dan Totammaq
artinya orang yang menamatkan Al Quran. Kegiatan ini dilakukan setiap kali
penamatan anak SD yang akan berlanjut ke SMP. “Wahh sepertinya asiek tuh naik
kuda”, aku mulai rajin mandarras Al Quran di rumah dan berharap bisa
cepat-cepat menamatkannya.
Kata nenek, messawe totammaq bermula pada masa Raja IV Balanipa. Ketika Maraqdia (Raja) Kanna Pattang Daetta
Tommuane, permaisuri dan putrinya menunggangi kudanya yang menari ketika
kandangnya dipukul. Selagi kuda menari sang Maraqdia
melantunkan kalindaqdaq (Pantun
Mandar). Saat itu Maraqdia berkata
pada puterinya “Belajarlah mengaji nak, kalau kamu tammaq mengaji saya akan naikkan kamu ke atas kuda pattuqdu (kuda menari). Sejak saat itu,
kegiatan messawe totammaq telah
menjadi turun temurun oleh masyarakat Mandar.
Detik demi detik berlalu, membawa aku
menuju tingkat akhir pendidikan dasar ini. Kelas yang menjadi momok dan menjadi
beban bagi kami. Namun semua itu terbayarkan dengan bayangan Messawe disayyang pattuqdu nanti.
Semua SD di daerahku memiliki tradisi
yang unik. Sejak masih duduk di bangku kelas satu, kami telah diwajibkan untuk
memiliki buku tabungan. Eitzz jangan
salah, ini bukan buku tabungan seperti yang ada di Bank. Buku tabungan kami
hanyalah buku tulis yang isinya riwayat tabungan setiap hari hingga kelas enam
nanti. Tabungan ini memang sengaja disiapkan untuk persiapan acara Messawe Totammaq. Menurut cerita dari
mulut ke mulut yang aku dengar bahwa acara Messawe
Totammaq ini membutuhkan biaya yang besar karena banyak persiapan yang
dilakukan. Mulai dari sewa kuda, sewa perlengkapan, makanan, sewa parrawana, pakkalindaqdaq dan lain-lain.
Akhirnya Ujian Sekolah pun selesai. Al Quran
pun telah tiga kali kutamatkan. Rasa senang dan bangga karena teman-temanku
yang lain hanya mampu menamatkan bacaannya satu kali saja. Aku pun sudah tidak
sabar lagi untuk segera merasakan messawe
totammaq.
Ibuku mulai sibuk mempersiapkan seluruh
perlengkapan untuk keempat anak tercintanya. Saat itu, aku dan ketiga adik-adikku
akan mengikuti kegiatan Messawe Totammaq
namun untuk adikku yang nomor tiga dan empat, mereka belum bisa messawe disayyang karena belum
menamatkan Al Qurannya. Tapi bagi anak TK, mereka cukup berkeliling dengan
becak cantik. Aku dan adekku Anggun akan messawe.
Sedangkan Siska dan Ici akan mengendarai becak yang cantik.
Hufttt
tinggal beberapa hari lagi. Aku telah membayangkan akan duduk di atas punggung
kuda dengan satu kaki ditekuk ke belakang lutut menghadap ke depan dan satu
kaki lainnya terlipat dengan lutut menghadap ke atas serta telapak kaki
berpijak di atas punggung kuda. Hmm
baru membayangkannya saja punggung ini sudah terasa sakit.
Akhirnya tibalah rangkaian kegiatan Messawe Totammaq. Dimulai dengan acara
Khataman Al Quran di Masjid terbesar di Kecamatan Pamboang. Di sana seluruh
siswa-siswi SD se-kecamatan dikumpul. Dengan menggunakan kostum jemaah Haji ala
Mandar kami duduk bersila mendengarkan dan mengikuti serangkaian acara malam
itu. Dimulai dengan pembacaan ayat suci Al Quran dan massikkir (barzanji). Kemudian marratassi
baca (mempertemukan bacaan) antara
totammaq dan sang guru ngaji. Terlihat di tengah-tengah kami, pohon pisang
yang disimpan dalam pot. Nampak buwaken
(telur rebus yang sudah ditusuk) menancap di batangnya. Tak luput pula atupe nabi (ketupat kecil berbentuk
persegi enam), cucur (kue khas yang
terbuat dari tepung beras, gula merah dan santan) serta sokkol (beras ketan yang dicampur santan) yang dibungkus dengan
daun pisang menghiasi sekitaran pot pisang.
Keesokan harinya tibalah waktu yang
kunanti-nanti selama ini. Kuda yang akan kutunggangi messawe sudah ada di depan
rumah. Dengan giginya yang besar dan putih, bulu yang hitam kecoklat-coklatan. Berdiri
dengan gagahnya seakan-akan berkata bahwa dia telah siap mengantarkan sang
puteri keliling kampung, “Hahaha asyiekkk”.
Di sudut halaman telah terlihat becak
yang dihiasi oleh sekelompok pemuda kampung semalam. Terlihat pula payung hitam
yang diikatkan pada sebuah tiang bambu yang panjangnya sekitar 3,5 meter.
Dengan hiasan rendah-rendah ala Mandar yang biasa digunakan saat pernikahan. Payung
tersebut terlihat lebih cantik. Dalam rumahku pun telah dihiasi pernak-pernik
khas turun temurun yang membuatnya semakin meriah. “Hmm suasananya seperti
acara nikahan saja”, aku pun tersenyum memandangi sisi demi sisi rumahku.
Badawara
(penutup kepala Haji) merah telah membungkus
rambutku, bayu pokko serta lipaq saqbe telah melekat di tubuh. Tak
lupa pula gallang bassi menutupi
sepertiga lengan. Kalung panjang yang terbuat dari uang logam kuno berwarna
emas ikut menambah ragam aksesoris Mandar tersebut. Satu lagi, meski telinga
sakit karenanya namun Dali (anting
besar bermotif) ini justru semakin menambah rasa percaya diri.
“Wahh
kudanya tinggi sekali Ayah”. Ayah tersenyum lalu menggendong aku dan
Anggun naik ke atas kuda. Make up yang cukup membuat wajah kaku. Alis yang
setebal jempol kaki dan lipstik merah merona bagai delima membuatku merasa
risih. Dan akhirnya duduklah seorang puteri di atas kuda. Dengan tangan kanan
memegang kipas bulu berwarna merah dan tangan kiri memegang rambut kuda yang
nampak bersih habis keramas. Aku mulai tersenyum malu.
Tiba-tiba Kakek datang, tongkat mengkilapnya nampak sudah lelah
menopang tubuh kakek yang semakin berat saja. Seperti biasa setelah naik ke
atas kuda, totammaq akan dibekali
beberapa pantun Mandar. Sayyang pattuqduq
mulai menari-nari mendengarkan parrawana
(tabuhan rebana). Dengan suara terbata-bata dan hampir tidak terdengar sama
sekali, Kakek membacakan kalindaqdaqnya.
Aroangi paqmaiq
Anaq to kasi-asi
Andiang tuqu
Mua Tania iqo
Artinya:
Kiranya
anda kasihan
Kepada
anak-anak miskin
Hanya
kepada andalah harapan mereka
Kepada
yang lain tiada
Kemudian
dilanjut lagi dengan kalindaqdaq kedua :
Tiamanaq
pakkurru-kurruq
Padiriwammua daiq
To pura sola
Dipannawa-nawanna
Artinya:
Timanglah
daku penuh kasih
Letakkan
pada pangkuan
Orang
yang telah bersalah
Hati
dan fikirannya.
Bismillah, Kakek menyentuh kepala kuda
yang menari. Kuda pun mulai melangkah menuju lapangan. “Siapa yang menyentuh
kakiku?”, gumamku dalam hati. Kata Ibu, saat menunggangi kuda kaki kanan dan
kiri akan dipegang oleh laki-laki seperti sepupu atau paman dari si penunggang
kuda. Jadi ada empat orang yang berada di sisi kuda saat itu.
Sekitar enam puluh kuda telah siap
dengan dandanan masing-masing. Di iringi parrawana
yang gendangnya berbeda-beda. Segerombol pemuda pun sudah tidak sabar meluncurkan kalindaqdaq pamungkasnya. Kuda mulai
ikut menari-nari dengan mengangkat-angkat
kepala dan kedua kakinya secara bergantian. Kuda yang dipakai saat messawe bukanlah kuda sembarangan.
Inilah yang disebut dengan sayyang
pattuqduq atau kuda menari. Jangan salah loh, sayyang pattuqduq ini telah memenangkan Lomba Kebudayaan di Istana
Negara pada tahun 2008. “Wahh bagaimana caranya kuda dari Polewali Mandar
diterbangkan ke Jakarta yah? eheheeh”.
Acara arak-arakan keliling kampung pun
dimulai. Dengan nomor urut V, rombongan mulai berjalan. Dengan iringan parrawana dan kalindaqdaq yang saling bersahut-sahutan menambah semaraknya acara
di siang bolong. Kami diurut berdasarkan peringkat kelulusan ujian sekolah se-kecamatan.
Betapa bangganya mereka yang berada di depanku. Meskipun peringkat V namun
hatiku tetap senang. Dengan menebar pesona pada seluruh penonton di lapangan.
Bagai lautan manusia lapangan sepak bola depan rumahku seakan tak ada celah.
Saling dorong dan berimpit membuat mereka sesak. Maklumlah, sudah tradisi
seluruh masyarakat saat arak-arakan totammaq
mereka akan berbondong-bondong datang. Baik itu dari pesisir pantai hingga
mereka yang bermukim di pegunungan akan berkumpul bersama di lapangan.
Setelah berkeliling kampung. Membagi
senyum sana sini. Ditemani kamera yang setia mengabadikan setiap adegan demi
adegan sepanjang perjalanan. Kami pun kembali ke rumah masing-masing. Ibu telah
menyiapkan kue khas dari Mandar. Ada baye,
golla kambu, cucur, sokkol, putu cakir dan baruas telah tertata rapi di atas bosara kuning emas. Rasa lelah keliling kampung, sedikit berkurang
setelah menyantap es buah buatan Ibu. Kupandangi Al Quran yang selama ini
kurangkul ke rumah Puang Imam. Terbayang senyum bangga Puang Imam. Aku pun
tersenyum. Merasa legah telah menjalankan amanahnya. Sungguh hari yang
melelahkan namun hari ini takkan pernah terlupa dan akan tercatat dalam episode
Messawe Totammaq tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar