Jumat, 14 Desember 2012

Kutamatkan Al Quran di Tanah Mandar


(Naskah Lomba Tulis Nusantara)

Mentari perlahan-lahan menyapa dengan sejuta senyum penyemangat. Bau dingin masih menyelimuti tubuh yang lunglai di atas gundukan kapuk yang ditutupi kain lebar bermotif bunga berwarna biru itu. Merasa terganggu dengan suara ayam yang bersahut-sahutan. Aku mulai melepas sarung kotak-kotak yang beberapa tahun ini menemani di setiap malam nan sunyi. “Wahh terlambatma ini”, namun aku segera menuju kamar mandi. Mengambil usapan demi usapan air untuk menyucikan diri menghadap kiblat dan memenuhi kewajibanku.
Hehehe, saat itu usiaku masih dua belas tahun. Usia yang kunanti-nanti setelah sekian lama aku berjalan menyusuri lorong-lorong sekitar rumahku. Membawa sebuah sarung dan Al Quran yang telah kusam karena sudah seringkali aku buka. Kadang aku merasa malas untuk ke
rumah Puang Imam. Puang Imam adalah guru mengaji di daerah sekitar rumahku (Orang yang lebih tua dari kita sudah menjadi kebiasaan dipanggil sebagai Puang). Rasanya aku ingin tidur-tiduran saja di rumah hingga sore menjelang. Namun karena sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang muslim untuk belajar membaca Al Quran. Senantiasa bisa menamatkan bacaan, aku mulai semangat lagi ke tempat mengaji. Aku mempelajari Al Quran mulai dari ma’alepu (mengeja/membaca huruf Hijaiyyah dalam bentuk kata-kata yang pendek), membaca Qoroan Keccuq (Al Quran kecil/juz amma) sampai membaca Qoroan Kayyang (Al Quran besar 30 juz).
Di tempat mengaji itu juga ada teman-teman kelasku. Seringkali di sela-sela waktu kosong setelah kami Mandarras (membaca ulang kembali bacaan yang telah terlewati) dan saat menunggu Puang Imam mengajarkan kami surah atau ayat baru, kami bermain petak umpet, maqgalaq ataupun maqbenteng. Maqgalaq dan maqbenteng adalah permainan tradisional di Mandar. Maqgalaq adalah permainan yang dimainkan oleh beberapa orang, ada yang sebagai penjaga dan ada yang sebagai penyerang. Permaianan ini tidak membutuhkan alat, hanya dengan menggambarkan persegi panjang di tanah dengan garis yang membelah dua persegi panjang tersebut. Setiap garis terdiri dari satu orang penjaga kemudian penyerang memasuki garis tersebut hingga mencapai garis belakang dan kembali ke garis awal dengan melewati para penjaga garis. Sedangkan maqbenteng adalah permainan yang terdiri dari dua kubu yang saling menyerang antar pasukannya. Kubu yang dapat menyentuh benteng pertahanan lawan akan menjadi pemenangnya. Sungguh permainan yang akan tetap melekat dalam ingatan.
“Nak bae-baeki mengaji, harus cepat tammat supaya nanti dipotongkanki ayam”, pesan Puang Imam pada kami murid-murid mengajinya. “Iya, nanti bisa naik sayyang pattuqduq (naik kuda menari) keliling Pamboang”, tambah istri Puang Imam. Kami pun tersenyum dan saling berpandangan. Timbul rasa persaingan di mata teman-temanku yang lain. Mungkin mereka berpikir sama denganku yaitu ingin menjadi yang terbaik di antara yang lain. Yahh namanya juga anak SD, wajarlah kami berpikiran seperti itu.
Sampai di rumah, aku menceritakan hal tersebut pada Ibu. Aku bertanya-tanya tentang orang yang naik kuda setelah Khatam Al Quran. Ibu menyatakan bahwa itu juga disebut Messawe To Tammaq. Messawe artinya duduk di atas sesuatu dan Totammaq artinya orang yang menamatkan Al Quran. Kegiatan ini dilakukan setiap kali penamatan anak SD yang akan berlanjut ke SMP. “Wahh sepertinya asiek tuh naik kuda”, aku mulai rajin mandarras Al Quran di rumah dan berharap bisa cepat-cepat menamatkannya.
Kata nenek, messawe totammaq bermula pada masa Raja IV Balanipa. Ketika Maraqdia (Raja) Kanna Pattang Daetta Tommuane, permaisuri dan putrinya menunggangi kudanya yang menari ketika kandangnya dipukul. Selagi kuda menari sang Maraqdia melantunkan kalindaqdaq (Pantun Mandar). Saat itu Maraqdia berkata pada puterinya “Belajarlah mengaji nak, kalau kamu tammaq mengaji saya akan naikkan kamu ke atas kuda pattuqdu (kuda menari). Sejak saat itu, kegiatan messawe totammaq telah menjadi turun temurun oleh masyarakat Mandar.
Detik demi detik berlalu, membawa aku menuju tingkat akhir pendidikan dasar ini. Kelas yang menjadi momok dan menjadi beban bagi kami. Namun semua itu terbayarkan dengan bayangan Messawe disayyang pattuqdu nanti.
Semua SD di daerahku memiliki tradisi yang unik. Sejak masih duduk di bangku kelas satu, kami telah diwajibkan untuk memiliki buku tabungan. Eitzz jangan salah, ini bukan buku tabungan seperti yang ada di Bank. Buku tabungan kami hanyalah buku tulis yang isinya riwayat tabungan setiap hari hingga kelas enam nanti. Tabungan ini memang sengaja disiapkan untuk persiapan acara Messawe Totammaq. Menurut cerita dari mulut ke mulut yang aku dengar bahwa acara Messawe Totammaq ini membutuhkan biaya yang besar karena banyak persiapan yang dilakukan. Mulai dari sewa kuda, sewa perlengkapan, makanan, sewa parrawana, pakkalindaqdaq dan lain-lain.
Akhirnya Ujian Sekolah pun selesai. Al Quran pun telah tiga kali kutamatkan. Rasa senang dan bangga karena teman-temanku yang lain hanya mampu menamatkan bacaannya satu kali saja. Aku pun sudah tidak sabar lagi untuk segera merasakan messawe totammaq.
Ibuku mulai sibuk mempersiapkan seluruh perlengkapan untuk keempat anak tercintanya. Saat itu, aku dan ketiga adik-adikku akan mengikuti kegiatan Messawe Totammaq namun untuk adikku yang nomor tiga dan empat, mereka belum bisa messawe disayyang karena belum menamatkan Al Qurannya. Tapi bagi anak TK, mereka cukup berkeliling dengan becak cantik. Aku dan adekku Anggun akan messawe. Sedangkan Siska dan Ici akan mengendarai becak yang cantik.
Hufttt tinggal beberapa hari lagi. Aku telah membayangkan akan duduk di atas punggung kuda dengan satu kaki ditekuk ke belakang lutut menghadap ke depan dan satu kaki lainnya terlipat dengan lutut menghadap ke atas serta telapak kaki berpijak di atas punggung kuda. Hmm baru membayangkannya saja punggung ini sudah terasa sakit.
Akhirnya tibalah rangkaian kegiatan Messawe Totammaq. Dimulai dengan acara Khataman Al Quran di Masjid terbesar di Kecamatan Pamboang. Di sana seluruh siswa-siswi SD se-kecamatan dikumpul. Dengan menggunakan kostum jemaah Haji ala Mandar kami duduk bersila mendengarkan dan mengikuti serangkaian acara malam itu. Dimulai dengan pembacaan ayat suci Al Quran dan massikkir (barzanji). Kemudian marratassi baca (mempertemukan bacaan) antara totammaq dan sang guru ngaji. Terlihat di tengah-tengah kami, pohon pisang yang disimpan dalam pot. Nampak buwaken (telur rebus yang sudah ditusuk) menancap di batangnya. Tak luput pula atupe nabi (ketupat kecil berbentuk persegi enam), cucur (kue khas yang terbuat dari tepung beras, gula merah dan santan) serta sokkol (beras ketan yang dicampur santan) yang dibungkus dengan daun pisang menghiasi sekitaran pot pisang.
Keesokan harinya tibalah waktu yang kunanti-nanti selama ini. Kuda yang akan kutunggangi  messawe sudah ada di depan rumah. Dengan giginya yang besar dan putih, bulu yang hitam kecoklat-coklatan. Berdiri dengan gagahnya seakan-akan berkata bahwa dia telah siap mengantarkan sang puteri keliling kampung, “Hahaha asyiekkk”.
Di sudut halaman telah terlihat becak yang dihiasi oleh sekelompok pemuda kampung semalam. Terlihat pula payung hitam yang diikatkan pada sebuah tiang bambu yang panjangnya sekitar 3,5 meter. Dengan hiasan rendah-rendah ala Mandar yang biasa digunakan saat pernikahan. Payung tersebut terlihat lebih cantik. Dalam rumahku pun telah dihiasi pernak-pernik khas turun temurun yang membuatnya semakin meriah. “Hmm suasananya seperti acara nikahan saja”, aku pun tersenyum memandangi sisi demi sisi rumahku.
Badawara (penutup  kepala Haji) merah telah membungkus rambutku, bayu pokko serta lipaq saqbe telah melekat di tubuh. Tak lupa pula gallang bassi menutupi sepertiga lengan. Kalung panjang yang terbuat dari uang logam kuno berwarna emas ikut menambah ragam aksesoris Mandar tersebut. Satu lagi, meski telinga sakit karenanya namun Dali (anting besar bermotif) ini justru semakin menambah rasa percaya diri.
“Wahh  kudanya tinggi sekali Ayah”. Ayah tersenyum lalu menggendong aku dan Anggun naik ke atas kuda. Make up yang cukup membuat wajah kaku. Alis yang setebal jempol kaki dan lipstik merah merona bagai delima membuatku merasa risih. Dan akhirnya duduklah seorang puteri di atas kuda. Dengan tangan kanan memegang kipas bulu berwarna merah dan tangan kiri memegang rambut kuda yang nampak bersih habis keramas. Aku mulai tersenyum malu.
Tiba-tiba Kakek datang,  tongkat mengkilapnya nampak sudah lelah menopang tubuh kakek yang semakin berat saja. Seperti biasa setelah naik ke atas kuda, totammaq akan dibekali beberapa pantun Mandar. Sayyang pattuqduq mulai menari-nari mendengarkan parrawana (tabuhan rebana). Dengan suara terbata-bata dan hampir tidak terdengar sama sekali, Kakek membacakan kalindaqdaqnya.
Aroangi paqmaiq
Anaq to kasi-asi
Andiang tuqu
Mua Tania iqo
Artinya:
Kiranya anda kasihan
Kepada anak-anak miskin
Hanya kepada andalah harapan mereka
Kepada yang lain tiada

Kemudian dilanjut lagi dengan kalindaqdaq kedua :
Tiamanaq pakkurru-kurruq
Padiriwammua daiq
To pura sola
Dipannawa-nawanna
Artinya:
Timanglah daku penuh kasih
Letakkan pada pangkuan
Orang yang telah bersalah
Hati dan fikirannya.
Bismillah, Kakek menyentuh kepala kuda yang menari. Kuda pun mulai melangkah menuju lapangan. “Siapa yang menyentuh kakiku?”, gumamku dalam hati. Kata Ibu, saat menunggangi kuda kaki kanan dan kiri akan dipegang oleh laki-laki seperti sepupu atau paman dari si penunggang kuda. Jadi ada empat orang yang berada di sisi kuda saat itu.
Sekitar enam puluh kuda telah siap dengan dandanan masing-masing. Di iringi parrawana yang gendangnya berbeda-beda. Segerombol pemuda pun sudah tidak sabar meluncurkan kalindaqdaq pamungkasnya. Kuda mulai ikut menari-nari dengan mengangkat-angkat  kepala dan kedua kakinya secara bergantian. Kuda yang dipakai saat messawe bukanlah kuda sembarangan. Inilah yang disebut dengan sayyang pattuqduq atau kuda menari. Jangan salah loh, sayyang pattuqduq ini telah memenangkan Lomba Kebudayaan di Istana Negara pada tahun 2008. “Wahh bagaimana caranya kuda dari Polewali Mandar diterbangkan ke Jakarta yah? eheheeh”.
Acara arak-arakan keliling kampung pun dimulai. Dengan nomor urut V, rombongan mulai berjalan. Dengan iringan parrawana dan kalindaqdaq yang saling bersahut-sahutan menambah semaraknya acara di siang bolong. Kami diurut berdasarkan peringkat kelulusan ujian sekolah se-kecamatan. Betapa bangganya mereka yang berada di depanku. Meskipun peringkat V namun hatiku tetap senang. Dengan menebar pesona pada seluruh penonton di lapangan. Bagai lautan manusia lapangan sepak bola depan rumahku seakan tak ada celah. Saling dorong dan berimpit membuat mereka sesak. Maklumlah, sudah tradisi seluruh masyarakat saat arak-arakan totammaq mereka akan berbondong-bondong datang. Baik itu dari pesisir pantai hingga mereka yang bermukim di pegunungan akan berkumpul bersama di lapangan.
Setelah berkeliling kampung. Membagi senyum sana sini. Ditemani kamera yang setia mengabadikan setiap adegan demi adegan sepanjang perjalanan. Kami pun kembali ke rumah masing-masing. Ibu telah menyiapkan kue khas dari Mandar. Ada baye, golla kambu, cucur, sokkol, putu cakir dan baruas telah tertata rapi di atas bosara kuning emas. Rasa lelah keliling kampung, sedikit berkurang setelah menyantap es buah buatan Ibu. Kupandangi Al Quran yang selama ini kurangkul ke rumah Puang Imam. Terbayang senyum bangga Puang Imam. Aku pun tersenyum. Merasa legah telah menjalankan amanahnya. Sungguh hari yang melelahkan namun hari ini takkan pernah terlupa dan akan tercatat dalam episode Messawe Totammaq tahun ini.

Tidak ada komentar: