Gitar
ini mengingatkan kenangan dirimu dalam memori yang takkan pernah hilang. Ketika
aku masih berdiri disini dengan sejuta
pengharapan, aku melihat gitar yang dengan gagahnya bersandar di dinding kamarku
seakan berkata bahwa kamu ada. Petikan gitarmu yang selalu menghantuiku di
setiap
kali aku menyepi di sudut malam nan dingin. Melodi gitarmu akan selalu
membuatku meneteskan air mata dan melukis aliran sungai kecil di pipiku. Dari
situlah muncul perasaan yang sangat tidak enak, membuatku sesak dan melawan
jalan fikiranku sendiri. Lalu kuterbisikkan sesuatu yang menyatakan bahwa aku
ini sedang rindu pada sang pemetik gitar.
Tak
dapat kupungkiri bahwa dirimu yang kini berada jauh dariku membuatku seakan menutup
ruang gerakku. Sungguh banyak kenangan
yang telah kita toreh di atas batu besar sekitar sungai. Jalan berlumpur dan
lorong berliku telah kita lewati bersama dengan mengagungkan satu kata yaitu
cinta. Sebenarnya kami berdua pun belum dapat memastikan apa itu cinta dan
apakah rasa antara kamu dan aku ini adalah cinta. Namun yang aku tau bahwa rasa
ini tak bisa terhapus, rasa ini menjaga diri ini agar senantiasa memilih pada
satu hati saja dan karena rasa ini langkahku berada di kampung menjadi lebih
ringan. Aku tak tau, apakah kamu juga memiliki jalan fikiran yang sama
denganku. Apakah lontaran kalimat-kalimat indah yang kamu ucapkan dulu belum
mencapai titik kadaluarsa? Dan apakah hatimu tetap terjaga di saat kamu jauh
dariku?
Hari
itu di saat balutan putih abu-abu akan kita simpan dengan baik dalam lemari, kamu
menuturkan kata yang membuat suasana yang tadinya cerah dan bersahabat menjadi
seakan gelap, kamu merasa oksigen yang dari tadi kuhirup tiba-tiba tersedot
oleh kata-katamu. Kamu ingin pergi jauh dariku, kamu ingin meninggalkanku disini,
kamu ingin membuatku terpaku di setiap malamnya, kamu ingin membawa pergi sosok
yang menjadi tempatku berbagi cerita disaat aku senang dan sedih, terlebih lagi
bahwa kamu ingin menjauhkanku dari melodi gitar yang hanya bisa terdengar indah
saat kau yang memetiknya.
Apakah
aku mampu menjalani semuanya tanpa adanya bahu yang selama ini menjadi tempat
bersandarku? Apakah aku mampu melewati malam tanpa melodi gitarmu? Dan apakah
aku mampu tetap melangkah tanpa kamu di sisiku?
Terlihat
senyum dengan sejuta makna kamu tunjukkan padaku. Kamu berjanji untuk tetap
menjaga hatimu meski jarak dan waktu akan memisahkan kita. Kamu tetap
meyakinkan hati ini bahwa kita berdua akan baik-baik saja. Kamu telah menjadi
sutradara yang sangat yakin bahwa mimpi kita berdua nantinya akan terwujud. Dan
kamu akan pergi hanya untuk kembali membawa kado terindah yang menjadi impian
kita selama ini.
Aku
tau bahwa pendidikan memang sangat dibutuhkan. Aku pun sangat ingin melangkah
bersamamu menuntut ilmu di tanah Jawa.
Aku ingin meraih sukses bersamamu. Namun apalah dayaku, aku hanya seorang gadis
kampung yang hidup dari keluarga yang pas-pasan. Jalan fikir orang tuaku pun
masih menganut tradisi dan budaya beliau menyatakan bahwa seorang wanita
baiknya tetap berada bersama keluarganya dan bagi beliau pendidikan hanyalah
untuk kaum Adam yang nantinya akan menafkahi istrinya.
Kamu
pun pergi meninggalkan aku. Aku yang hanya menyelesaikan sekolah saja dan
berdiam diri di kampung bersama wanita-wanita yang lain. Kadang aku berfikir
bahwa ini tak adil namun tradisi dan budaya tak dapat aku tantang dengan mudahnya.
Aku hanya wanita biasa yang memiliki semangat dengan hanya mendengar melodi
gitarmu. Meski gitar itu telah kamu tinggalkan bersamaku di sini namun
petikannya tentu berbeda dari yang lain.
Saat
langit berwarna biru, mentari seakan malu tuk menyapa, aku berjalan menelusuri
lorong-lorong saat kita pulang bersama dari sekolah. Dengan membawa satu benda
yang kau titipkan padaku, aku mecoba menghibur diri. Setiap lelaki yang pandai
bermain gitar, aku menghampirinya dan meminta pada mereka agar memainkan gitar
yang akan mebayar rasa rinduku padamu. Hingga senja menjelang tak ada satu pun
melodi yang dapat menghapus rasa rindu ini padamu. Kupeluk erat gitar itu dan
aku mulai berjalan pulang ke rumah dengan membawa beberapa titik air mata kerinduanku.
Beberapa
bulan berlalu, tak ada satu pun kabar akan dirimu. Meski zaman sudah modern
namun akses komunikasi di kampung kami belum memadai. Kami belum bisa
menggunakan telfon untuk berkomunikasi sehingga sangat menyulitkanku untuk
berbagi kabar padanya. Sesekali kupetik gitar ini dan kumulai berbagi cerita
pada petikan-petikanku sendiri, terkadang air mata pun ikut meramaikan hatiku
yang gundah gulana. Hal sekecil itu saja sudah dapat membuatku senang dan
bahagia.
Hari
berganti hari, aku mulai terbiasa tanpa dirimu di sini namun harapan dan janji
tetap mengikat hati dan fikiranku. Aku tau bahwa di sana kamu pasti juga
merindukanku dan aku tau bahwa kamu pun tidak akan suka melihatku terus
bersedih memikirkanmu. Aku kini telah bisa berlapang dada dan mulai tersenyum
kembali menjalani hidup.
Hingga
suatu hari seorang teman yang juga ikut ke tanah Jawa bersamamu pulang ke
kampung karena liburan. Namun kulihat tak ada kamu di sana, kamu tidak ikut
pulang bersamanya. Mengapa kamu tidak pulang? Apakah kamu tidak rindu pada
sosok yang merindukanmu ini?. Dengan wajah sedih aku mencoba bertanya padanya.
Mengapa dia tidak ikut bersamamu? Dia berkata bahwa kamu tidak bisa pulang
bersamanya karena masih ada urusan yang belum terselesaikan. Aku hanya bisa
mengangguk dan berbalik arah tanpa mengucapkan satu kata pun. Hatiku
bergejolak, apa yang kamu lakukan saat hari libur? Mengapa kamu tidak pulang
untuk menenangkan hatiku ini dan untuk mengobati rasa rindu yang telah beberapa
tahun ini kubendung? Namun aku mencoba untuk mengerti karena aku tau kamu
memang sosok pekerja keras dan aku percaya pasti ada alasan kuat sehingga
membuatmu tidak pulang.
Beberapa
hari kemudian, para gadis di kampung memberi tau aku tentang suatu kabar yang
sangat tidak enak di dengar. Mereka berkata bahwa kamu yang jauh di sana telah
memiliki wanita lain, hal itulah yang membuatmu tidak pulang ke kampung liburan
ini. Aku tidak mudah percaya dengan berita-berita yang belum tentu kebenarannya
itu. Aku lebih mendengar kata hatiku dibanding ucapan-ucapan mereka. Setiap
kali aku keluar rumah, beberapa orang menatapku dengan wajah kasihan. Ada apa
dengan mereka? Namun aku tetap cuek saja karena hati dan fikiran ini sudah terlanjur
yakin dan percaya padamu.
Pada
suatu hari terdengar kabar bahwa kamu akan kembali dalam minggu ini. Betapa
senangnya hati ini mendengar kabar itu. Seseorang yang selama ini kunanti-nanti
akan hadir kembali di sisiku. Namamu selalu menghiasi khayalku di setiap
malamnya. Kamu yang menjadi harapan dan kekuatanku menjalani hari-hari dengan
penuh semangat dan kamu satu-satunya yang mampu melumpuhkanku dengan satu
kedipan mata saja. Sungguh dahsyatnya rasa ini, rasa yang dapat membunuh diriku
sendiri.
Siang
itu denyut jantungku berdebar kencang. Sejak pagi tadi aku menanti kamu di
ujung jalan. Aku tau bahwa hari ini kamu akan datang. Aku sudah sangat rindu
dengan wajahmu, suaramu, terlebih lagi dengan petikan suara gitarmu. Dengan
cemas aku menunggu, sesekali kupetik gitar milikmu dengan nada yang tak
beraturan hatiku pun mulai gundah gulana. Terik mentari seakan tersenyum
melihat kegelisahanku menanti seorang kekasih di ujung jalan.
Nampak
dari kejauhan bus kota yang selalu membawa penumpang ke kampung pun muncul.
Terasa sangat lambat laju bus tersebut. Aku sudah tak sabar ingin melihatmu.
Dengan wajah yang senang, aku berdiri dan terus tersenyum ke arah bus tersebut.
Akhirnya bus itu pun berhenti tepat di lorong rumahmu. Angin bertiup membelai
rambutku, kulihat sosok kekasihku turun dari bus itu. Senyumku kian melebar
melihatmu yang telah lama kunanti. Namun mengapa ada seseorang yang ikut denganmu?
Aku mulai resah namun rasa rinduku lebih besar dari rasa penasaranku. Kuambil
sebagian barang di tanganmu dan kuikuti kamu menuju rumahmu. Namun yang
kuterima hanyalah senyum biasa, tak pernah kamu memberikan ekspresi seperti itu
padaku. Mungkin kamu lelah dari perjalanannya yang jauh. Aku pun mencoba untuk
mengerti. Kami bertiga berjalan dengan suasana hening. Tak pernah kubayangkan
pertemuanku denganmu akan sehening ini aku mulai ragu, tidakkah dia senang
melihatku?.
Akhirnya
kami pun tiba depan rumahmu. Pintu yang sudah terbuka lebar dari kejauhan
tiba-tiba terdengar tangis yang memecah keheningan di siang bolong. Aku tak tau
tangis apa ini? Kedengarannya berbeda dengan tangis orang tua yang rindu pada
anaknya. Ibumu melihatku dengan sedih namun tak banyak bicara kami bertiga
masuk ke dalam rumah. Sudah lama aku memang telah akrab dengan Ibu karena kamu
juga banyak cerita tentang aku pada Ibu dan Ibu pun sangat baik padaku. Di
dalam rumah sudah banyak keluarganya yang menanti, wajarlah mungkin karena
mereka rindu padamu yang sudah beberapa tahun ini tidak bertemu namun mengapa
suasananya nampak berbeda?.
Beberapa
detik setelah kami duduk bertatapan dengan diam, teriakan mulai pecah kembali.
Teriakan yang diiringi isak tangis oleh Ibu dan adik-adikmu. Memang ada yang mencurigakan
disini. Senyum yang dari tadi aku lontarkan kini menjadi terpaku mendengar kata
demi kata yang keluar dari mulut Ibu. Apa??? Aku mengambil nafas panjang.
Badanku terasa remuk, terhempas di atas bara api yang membakar kulit.
Pandanganku tiba-tiba menyempit dan semuanya terasa gelap sampai akhirnya aku
tak mengingat apa-apa lagi.
Beberapa
menit kemudian, aku tersadar. Kepala ini masih sangat pusing. Kucoba membuka
mata secara perlahan, pipiku masih sangat basah. Hidung pun menjadi tersumbat
akibat tangisku yang kulanjutkan lagi. Semua masih seperti yang tadi, masih ada
tangis dan suara-suara yang menggangu pendengaranku.
Aku
harus kuat, aku tak boleh seperti ini. Aku semakin memperburuk keadaan saja.
Kumencoba untuk tegar namun fikiran dan hati ini masih belum percaya. Benarkah
yang kudengar tadi? Ataukah ini hanya mimpi buruk di siang bolong?.
Teganya
engkau, bukan hanya aku saja yang telah kamu sakiti, bukan hanya aku saja yang
hancur, bukan hanya mimpiku saja yang terusak karenamu tapi lihatlah, seluruh
keluargamu telah kau sakiti. Kau mencoreng arang di wajah keluargamu sendiri,
kau telah memutuskan harapan dan do’a orang tuamu selama ini. Tak pernah
terbayangkan kau akan menjadi seperti ini, tak pernah kuduga kau membuatakan
awan hitam untuk orang-orang yang menyayangimu.
Sudahlah,
air mata ini telah kering karenamu. Suara-suara itu nampaknya telah lelah
memberimu ceramah-ceramah yang tak berguna lagi untukmu. nasi pun kini telah
jadi bubur. Tanpa sepata kata pun aku mulai berdiri dan hendak meninggalkan
ruangan itu. Aku berjalan menuju pintu dengan pandangan yang kosong. Rasanya
aku tak mampu menggerakkan kaki ini, namun aku rasa akan lebih tenang berada di
rumah. Untuk yang terakhir kalinya kau memanggil namaku, entah mengapa aku
merasa sangat berat untuk membalikan badan ini dan menatap matamu. Aku terus
saja berjalan dengan mengikuti angin yang akan membawaku jauh dari diri dan
kehidupanmu.
Aku
takkan menyalahkan dia yang kini menggantikanku di sisimu. Aku hanya bisa
berdo’a agar keluargamu dikuatkan oleh masalah ini. Meski pahit namun inilah
hidup, hidup yang tak bisa kita atur semaunya. Aku percaya ada cahaya terang
dibalik layar hitam ini. Kutitip senyumku untuk yang terakhir kalinya pada
benih yang tak berdosa itu. Selamat tinggal melodi rinduku, biarkanlah gitar
ini yang menjadi saksi bisu hari-hariku tanpa petikanmu lagi.
NUR ULFAH
DWIYANTI OBED
JURUSAN
MATEMATIKA, UNHAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar