Jumat, 07 Desember 2012

MELODI RINDU



Gitar ini mengingatkan kenangan dirimu dalam memori yang takkan pernah hilang. Ketika aku masih berdiri  disini dengan sejuta pengharapan, aku melihat gitar yang dengan gagahnya bersandar di dinding kamarku seakan berkata bahwa kamu ada. Petikan gitarmu yang selalu menghantuiku di setiap
kali aku menyepi di sudut malam nan dingin. Melodi gitarmu akan selalu membuatku meneteskan air mata dan melukis aliran sungai kecil di pipiku. Dari situlah muncul perasaan yang sangat tidak enak, membuatku sesak dan melawan jalan fikiranku sendiri. Lalu kuterbisikkan sesuatu yang menyatakan bahwa aku ini sedang rindu pada sang pemetik gitar.
Tak dapat kupungkiri bahwa dirimu yang kini berada jauh dariku membuatku seakan menutup ruang gerakku. Sungguh banyak  kenangan yang telah kita toreh di atas batu besar sekitar sungai. Jalan berlumpur dan lorong berliku telah kita lewati bersama dengan mengagungkan satu kata yaitu cinta. Sebenarnya kami berdua pun belum dapat memastikan apa itu cinta dan apakah rasa antara kamu dan aku ini adalah cinta. Namun yang aku tau bahwa rasa ini tak bisa terhapus, rasa ini menjaga diri ini agar senantiasa memilih pada satu hati saja dan karena rasa ini langkahku berada di kampung menjadi lebih ringan. Aku tak tau, apakah kamu juga memiliki jalan fikiran yang sama denganku. Apakah lontaran kalimat-kalimat indah yang kamu ucapkan dulu belum mencapai titik kadaluarsa? Dan apakah hatimu tetap terjaga di saat kamu jauh dariku?
Hari itu di saat balutan putih abu-abu akan kita simpan dengan baik dalam lemari, kamu menuturkan kata yang membuat suasana yang tadinya cerah dan bersahabat menjadi seakan gelap, kamu merasa oksigen yang dari tadi kuhirup tiba-tiba tersedot oleh kata-katamu. Kamu ingin pergi jauh dariku, kamu ingin meninggalkanku disini, kamu ingin membuatku terpaku di setiap malamnya, kamu ingin membawa pergi sosok yang menjadi tempatku berbagi cerita disaat aku senang dan sedih, terlebih lagi bahwa kamu ingin menjauhkanku dari melodi gitar yang hanya bisa terdengar indah saat kau yang memetiknya.
Apakah aku mampu menjalani semuanya tanpa adanya bahu yang selama ini menjadi tempat bersandarku? Apakah aku mampu melewati malam tanpa melodi gitarmu? Dan apakah aku mampu tetap melangkah tanpa kamu di sisiku?
Terlihat senyum dengan sejuta makna kamu tunjukkan padaku. Kamu berjanji untuk tetap menjaga hatimu meski jarak dan waktu akan memisahkan kita. Kamu tetap meyakinkan hati ini bahwa kita berdua akan baik-baik saja. Kamu telah menjadi sutradara yang sangat yakin bahwa mimpi kita berdua nantinya akan terwujud. Dan kamu akan pergi hanya untuk kembali membawa kado terindah yang menjadi impian kita selama ini.
Aku tau bahwa pendidikan memang sangat dibutuhkan. Aku pun sangat ingin melangkah bersamamu  menuntut ilmu di tanah Jawa. Aku ingin meraih sukses bersamamu. Namun apalah dayaku, aku hanya seorang gadis kampung yang hidup dari keluarga yang pas-pasan. Jalan fikir orang tuaku pun masih menganut tradisi dan budaya beliau menyatakan bahwa seorang wanita baiknya tetap berada bersama keluarganya dan bagi beliau pendidikan hanyalah untuk kaum Adam yang nantinya akan menafkahi istrinya.
Kamu pun pergi meninggalkan aku. Aku yang hanya menyelesaikan sekolah saja dan berdiam diri di kampung bersama wanita-wanita yang lain. Kadang aku berfikir bahwa ini tak adil namun tradisi dan budaya tak dapat aku tantang dengan mudahnya. Aku hanya wanita biasa yang memiliki semangat dengan hanya mendengar melodi gitarmu. Meski gitar itu telah kamu tinggalkan bersamaku di sini namun petikannya tentu berbeda dari yang lain.
Saat langit berwarna biru, mentari seakan malu tuk menyapa, aku berjalan menelusuri lorong-lorong saat kita pulang bersama dari sekolah. Dengan membawa satu benda yang kau titipkan padaku, aku mecoba menghibur diri. Setiap lelaki yang pandai bermain gitar, aku menghampirinya dan meminta pada mereka agar memainkan gitar yang akan mebayar rasa rinduku padamu. Hingga senja menjelang tak ada satu pun melodi yang dapat menghapus rasa rindu ini padamu. Kupeluk erat gitar itu dan aku mulai berjalan pulang ke rumah dengan membawa beberapa titik air mata kerinduanku.
Beberapa bulan berlalu, tak ada satu pun kabar akan dirimu. Meski zaman sudah modern namun akses komunikasi di kampung kami belum memadai. Kami belum bisa menggunakan telfon untuk berkomunikasi sehingga sangat menyulitkanku untuk berbagi kabar padanya. Sesekali kupetik gitar ini dan kumulai berbagi cerita pada petikan-petikanku sendiri, terkadang air mata pun ikut meramaikan hatiku yang gundah gulana. Hal sekecil itu saja sudah dapat membuatku senang dan bahagia.
Hari berganti hari, aku mulai terbiasa tanpa dirimu di sini namun harapan dan janji tetap mengikat hati dan fikiranku. Aku tau bahwa di sana kamu pasti juga merindukanku dan aku tau bahwa kamu pun tidak akan suka melihatku terus bersedih memikirkanmu. Aku kini telah bisa berlapang dada dan mulai tersenyum kembali menjalani hidup.
Hingga suatu hari seorang teman yang juga ikut ke tanah Jawa bersamamu pulang ke kampung karena liburan. Namun kulihat tak ada kamu di sana, kamu tidak ikut pulang bersamanya. Mengapa kamu tidak pulang? Apakah kamu tidak rindu pada sosok yang merindukanmu ini?. Dengan wajah sedih aku mencoba bertanya padanya. Mengapa dia tidak ikut bersamamu? Dia berkata bahwa kamu tidak bisa pulang bersamanya karena masih ada urusan yang belum terselesaikan. Aku hanya bisa mengangguk dan berbalik arah tanpa mengucapkan satu kata pun. Hatiku bergejolak, apa yang kamu lakukan saat hari libur? Mengapa kamu tidak pulang untuk menenangkan hatiku ini dan untuk mengobati rasa rindu yang telah beberapa tahun ini kubendung? Namun aku mencoba untuk mengerti karena aku tau kamu memang sosok pekerja keras dan aku percaya pasti ada alasan kuat sehingga membuatmu tidak pulang.
Beberapa hari kemudian, para gadis di kampung memberi tau aku tentang suatu kabar yang sangat tidak enak di dengar. Mereka berkata bahwa kamu yang jauh di sana telah memiliki wanita lain, hal itulah yang membuatmu tidak pulang ke kampung liburan ini. Aku tidak mudah percaya dengan berita-berita yang belum tentu kebenarannya itu. Aku lebih mendengar kata hatiku dibanding ucapan-ucapan mereka. Setiap kali aku keluar rumah, beberapa orang menatapku dengan wajah kasihan. Ada apa dengan mereka? Namun aku tetap cuek saja karena hati dan fikiran ini sudah terlanjur yakin dan percaya padamu.
Pada suatu hari terdengar kabar bahwa kamu akan kembali dalam minggu ini. Betapa senangnya hati ini mendengar kabar itu. Seseorang yang selama ini kunanti-nanti akan hadir kembali di sisiku. Namamu selalu menghiasi khayalku di setiap malamnya. Kamu yang menjadi harapan dan kekuatanku menjalani hari-hari dengan penuh semangat dan kamu satu-satunya yang mampu melumpuhkanku dengan satu kedipan mata saja. Sungguh dahsyatnya rasa ini, rasa yang dapat membunuh diriku sendiri.
Siang itu denyut jantungku berdebar kencang. Sejak pagi tadi aku menanti kamu di ujung jalan. Aku tau bahwa hari ini kamu akan datang. Aku sudah sangat rindu dengan wajahmu, suaramu, terlebih lagi dengan petikan suara gitarmu. Dengan cemas aku menunggu, sesekali kupetik gitar milikmu dengan nada yang tak beraturan hatiku pun mulai gundah gulana. Terik mentari seakan tersenyum melihat kegelisahanku menanti seorang kekasih di ujung jalan.
Nampak dari kejauhan bus kota yang selalu membawa penumpang ke kampung pun muncul. Terasa sangat lambat laju bus tersebut. Aku sudah tak sabar ingin melihatmu. Dengan wajah yang senang, aku berdiri dan terus tersenyum ke arah bus tersebut. Akhirnya bus itu pun berhenti tepat di lorong rumahmu. Angin bertiup membelai rambutku, kulihat sosok kekasihku turun dari bus itu. Senyumku kian melebar melihatmu yang telah lama kunanti. Namun mengapa ada seseorang yang ikut denganmu? Aku mulai resah namun rasa rinduku lebih besar dari rasa penasaranku. Kuambil sebagian barang di tanganmu dan kuikuti kamu menuju rumahmu. Namun yang kuterima hanyalah senyum biasa, tak pernah kamu memberikan ekspresi seperti itu padaku. Mungkin kamu lelah dari perjalanannya yang jauh. Aku pun mencoba untuk mengerti. Kami bertiga berjalan dengan suasana hening. Tak pernah kubayangkan pertemuanku denganmu akan sehening ini aku mulai ragu, tidakkah dia senang melihatku?.
Akhirnya kami pun tiba depan rumahmu. Pintu yang sudah terbuka lebar dari kejauhan tiba-tiba terdengar tangis yang memecah keheningan di siang bolong. Aku tak tau tangis apa ini? Kedengarannya berbeda dengan tangis orang tua yang rindu pada anaknya. Ibumu melihatku dengan sedih namun tak banyak bicara kami bertiga masuk ke dalam rumah. Sudah lama aku memang telah akrab dengan Ibu karena kamu juga banyak cerita tentang aku pada Ibu dan Ibu pun sangat baik padaku. Di dalam rumah sudah banyak keluarganya yang menanti, wajarlah mungkin karena mereka rindu padamu yang sudah beberapa tahun ini tidak bertemu namun mengapa suasananya nampak berbeda?.
Beberapa detik setelah kami duduk bertatapan dengan diam, teriakan mulai pecah kembali. Teriakan yang diiringi isak tangis oleh Ibu  dan adik-adikmu. Memang ada yang mencurigakan disini. Senyum yang dari tadi aku lontarkan kini menjadi terpaku mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Ibu. Apa??? Aku mengambil nafas panjang. Badanku terasa remuk, terhempas di atas bara api yang membakar kulit. Pandanganku tiba-tiba menyempit dan semuanya terasa gelap sampai akhirnya aku tak mengingat apa-apa lagi.
Beberapa menit kemudian, aku tersadar. Kepala ini masih sangat pusing. Kucoba membuka mata secara perlahan, pipiku masih sangat basah. Hidung pun menjadi tersumbat akibat tangisku yang kulanjutkan lagi. Semua masih seperti yang tadi, masih ada tangis dan suara-suara yang menggangu pendengaranku.
Aku harus kuat, aku tak boleh seperti ini. Aku semakin memperburuk keadaan saja. Kumencoba untuk tegar namun fikiran dan hati ini masih belum percaya. Benarkah yang kudengar tadi? Ataukah ini hanya mimpi buruk di siang bolong?.
Teganya engkau, bukan hanya aku saja yang telah kamu sakiti, bukan hanya aku saja yang hancur, bukan hanya mimpiku saja yang terusak karenamu tapi lihatlah, seluruh keluargamu telah kau sakiti. Kau mencoreng arang di wajah keluargamu sendiri, kau telah memutuskan harapan dan do’a orang tuamu selama ini. Tak pernah terbayangkan kau akan menjadi seperti ini, tak pernah kuduga kau membuatakan awan hitam untuk orang-orang yang menyayangimu.
Sudahlah, air mata ini telah kering karenamu. Suara-suara itu nampaknya telah lelah memberimu ceramah-ceramah yang tak berguna lagi untukmu. nasi pun kini telah jadi bubur. Tanpa sepata kata pun aku mulai berdiri dan hendak meninggalkan ruangan itu. Aku berjalan menuju pintu dengan pandangan yang kosong. Rasanya aku tak mampu menggerakkan kaki ini, namun aku rasa akan lebih tenang berada di rumah. Untuk yang terakhir kalinya kau memanggil namaku, entah mengapa aku merasa sangat berat untuk membalikan badan ini dan menatap matamu. Aku terus saja berjalan dengan mengikuti angin yang akan membawaku jauh dari diri dan kehidupanmu.
Aku takkan menyalahkan dia yang kini menggantikanku di sisimu. Aku hanya bisa berdo’a agar keluargamu dikuatkan oleh masalah ini. Meski pahit namun inilah hidup, hidup yang tak bisa kita atur semaunya. Aku percaya ada cahaya terang dibalik layar hitam ini. Kutitip senyumku untuk yang terakhir kalinya pada benih yang tak berdosa itu. Selamat tinggal melodi rinduku, biarkanlah gitar ini yang menjadi saksi bisu hari-hariku tanpa petikanmu lagi.

NUR ULFAH DWIYANTI OBED
JURUSAN MATEMATIKA, UNHAS

Tidak ada komentar: