BOCAH
TERMINAL
Hari mulai berganti gelap. Hujan pun masih enggan meninggalkan kota ini.
Sesekali petir menyambar dengan kerasnya. Membuat suasana semakin mencekam.
Beberapa kali aku melihat jam di handphone. Waktu semakin mendesakku untuk
segera meninggalkan tempat ini.
Tak bisa diundur lagi. Bisa-bisa aku ketinggalan mobil jika terus seperti
ini. “Kak pulangma’ nah”, sambil membuka payung biru di depan pintu kamarku.
“Ini kan masih hujan deras dek?, tunggulah dulu hingga hujannya reda”. Dengan
tergesa-gesa, aku pun mengunci pintu dan menjinjing sebuah tas yang lumayan
besar, “Tidak apa-apa kak, dari pada saya ketinggalan mobil?”. Aku mulai
berjalan menyusuri lorong gelap nan panjang. Air sudah menggenang hingga
tumitku. “Hmm basah deh semua”, meski memakai payung tapi setengah badanku
diguyur hujan yang ditiup oleh angin.
Tiba diterminal dalam keadaan basah kuyup. Aku turun dari mobil pete-pete
Daya. “Mau kemana dek? Sini barangnya saya bawakan”, kata seorang bapak tua
yang berdiri kedinginan di teras terminal. “Makasih pak”, aku terus berjalan
cepat masuk ke ruang tunggu. Beberapa kali aku menelfon pak Supir yang akan
mengantarku pulang. “Iya, tunggu saja disitu, nanti saya telfon balik kalau
saya sudah diterminal”. Hmm tadi aku sudah tergesa-gesa ternyata pak Supirnya
belum datang. Aku pun duduk di bangku plastik berwarna orange. Dengan sebuah TV
yang lumayan besar, aku pun mulai bernafas legah sejenak.
“Kak beliki dulu apelku kodong,
murahji kak”, kata seorang anak lelaki yang kira-kira berumur sekitar 10 tahun
itu. Aku menatap anak lelaki itu dan berkata dalam hati, “Kasiannya masih kecil
sudah berupaya untuk mencari uang”. Namun aku menolak dengan halus. Pikirku
uang di dalam tas sepertinya tidak cukup lagi untuk beli buah. Si anak tersebut
kembali mendekat, “Ambil maki lima belas ribu satu bungkus kak, beli meki
kodong kak”. Teringat pada seorang keponakanku di kampung. Pasti dia senang
jika diberikan sekantong apel itu. Aku mulai mengecek sisa uang di dompetku.
Aku memisahkan uang sewa mobil dan makan di jalan nanti. Perjalanan yang
kutempuh cukup jauh. Butuh waktu 7-9 jam untuk tiba di kampung. Alhamdulillah,
ternyata ada uang yang lebih. Aku pun membeli apel dari anak laki-laki itu.
Kening yang tadinya berkerut sepertinya telah hilang. “Terima kasih kak!”, Dia
pun berlalu dari hadapanku.
Kembali kumelihat jam dihandphoneku. Sudah cukup lama
aku menunggu. Aku pun terkaget melihat seorang anak perempuan berdiri tepat di
sampingku. Dia berumur 8 tahun. Tangannya merapat kelenganku. Menggunakan busana
muslim yang nampak kotor. Rambutnya yang berwarna pirang dibiarkan terurai
begitu saja. Kulitnya hitam, dekil dan tidak menggunakan alas kaki. Namun
wajahnya berseri menatap padaku. “Kakak pasti hauski, beliki dulu air
mineralku”, aku pun tersenyum sambil mengeluarkan botol minuman yang kubawa
dari kost tadi. “Maaf adek cantik, adaji air mineralku”. “Hmm pasti tidak cukup
itu kak, beli meki lagi satu”. Sambil tersenyum aku tetap menolak untuk membeli. Apalagi uangku juga
sudah pas-pasan. Kemudian, dia menawarkan tissue. Lagi, aku mengeluarkan
setumpuk tissue yang memang selalu ada di dalam tasku. Diapun mulai tersenyum.
“Biarmi dua air minumta kakak”, “Hehee tidak kuatja minum air dek, ini saja
baekji kalau habiski”. Nampaknya gadis kecil itu kecewa padaku. Dia tertunduk
kemudian menatap koper yang ada di depanku. “Kakak mauki ke Toraja kah? Pasti
belok-belokki jalanan ke sana toh?”, ujarnya dengan lagak sok tahu. “Hahaa
soktanya dehh, tidak ke Toraja ka dek, mauka ke Majene”. Dia nampak bingung,
mungkin saja dia tidak tahu dimana itu Majene. Senyum manis dari wajahnya masih
tetap ada. Dia seakan enggan meninggalkanku sendiri. “Kakak berapa kita belikan
itu apel?”, aku pun bercerita saat membeli apel tadi. Dia tersenyum dan
berbisik ke telingaku. “Kak sepuluh ribuji itu modalnya, berarti untungki tadi
itu lima ribu, kenapa tidak kita tawar lagi kak?”, “Hahaha mana kutahu dek,
tidak jagoka tawar-menawar dek”.
Suasana mulai menghangat. Anak ini seakan telah mengenal aku begitu lama.
Dia mulai menjelaskan setiap modal,
harga jual serta trik-trik mereka saat beroperasi di terminal Daya tersebut.
“Jadi lain kali kakak, janganki mau dipattol sama penjual kakak nah”. Ini anak
begitu polos, dia tidak sadar telah membeberkan rahasia para penjual seperti
dia. Aku pun tersenyum dan mulai menanyakan tentang dirinya. Sungguh hati anak
ini sangat mulia, di usia yang masih delapan tahun, dia bisa sekolah dan
bekerja membantu orang tuanya. Dia memiliki impian jika suatu saat kelak dia
akan menjadi seorang guru Matematika. Bisa kuliah dan tetap menghasilkan uang.
Aku tertegun beberapa detik mendengar pernyataannya. ”Amin, Insya Allah dek
kamu nanti bisa jadi seorang guru. Makanya mulai sekarang kamu harus belajar
dengan baik”, tambahku.
Tak lama kemudian, bocah itu memandangi sepatuku. “Wah kakak bergayaki
kita di’?”, ujarnya sambil mengelus-elus botol air mineral. “Haha memangnya
dengan menggunakan sepatu yang memiliki hak tinggi sudah dikatakan bergaya?”.
Dia pun mulai mendongeng lagi bahwa dulu sewaktu ibunya masih kerja di kantor,
beliau juga sering menggunakan sepatu yang memiliki hak tinggi. Namun sekarang
sudah tidak lagi karena Ibunya juga telah bergabung bersamanya sebagai penjual
di terminal ini. “Kak kalau liat maki ibu-ibu menjual dengan menggendong anak
laki-laki yang hitam sekali, nah itumi Ibu dan adikku”. Seluruh keluarganya
memiliki pekerjaan yang sama. Sejak umur lima tahun, dia telah mengenal dunia
perdagangan di terminal tersebut. Sungguh kasihan anak ini. Pasti waktunya
banyak terbuang untuk mencari recehan-recehan uang demi memenuhi kebutuhan
bersama keluarganya.
Seorang wanita tua berjalan
mengendap-endap di sekitar bus. Sambil menggendong anaknya, dia pun masuk ke
dalam bus. Nampak seorang lelaki paruh baya sedang tertidur. Langkah kakinya
diayunkan pelan. “Hei apa yang akan kamu lakukan?”, kata lelaki itu dengan nada
yang keras. Dia terbangun merasakan tangan yang menyentuh kantong celananya.
Sekejap wanita itu berlari ketakutan. Ia tak tahu bahwa sekelompok penumpang
yang lain juga ikut mengejarnya. Wanita itu terus berlari sambil memeluk erat
anaknya.
Handphoneku berdering, terdengar
suara “Sini maki dek, adama di samping kanannya ruang tunggu”. “Alhamdulillah,
dek adami mobil. Mauma berangkat dek”. Tanpa perintah, bocah itu mengangkat
koperku. Aku menolak tapi dia tetap mengangkatnya. “Kakak lipatki celanata,
basah nanti”, dengan posisi berbalik ke belakang menatapku. Aku yang berdiri di
atas tangga kecil, terharu mendengarnya.
Kami pun tiba di depan mobil Avanza
hitam yang telah dipenuhi oleh penumpang. “Cepat maki naik dek, maumi orang
berangkat”, kata pak Supir. Aku menatap bocah itu sedih. “Dek nanti lain kali
kita cerita-cerita lagi nah”. Dia pun tersenyum dan menjawab, “Iye kakak, lain
kali beli air mineralku nah”, katanya sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum dan
melambaikan tangan dari balik jendela mobil “Iya dek, tungguma kembali janjika
akan membeli jualanmu”. Dia pun melambaikan tangannya pula.
Beberapa minggu setelah liburan. Aku
pun kembali ke tempatku menimbah ilmu. Berbekal do’a dan harapan yang besar
dari kedua orang tua. Aku mesti rela berpisah beberapa waktu. Dan aku selalu
berdo’a semoga senyum kebahagiaan selalu terjaga dalam keluargaku.
Akhirnya, tiba lagi di Terminal
tempatku bertemu dengan bocah kecil itu. Dengan menjinjing kantong plastik
hitam aku keliling mencarinya. Aku sudah tak sabar akan memberikannya kue khas
dari daerahku. “Mudah-mudahan saja dia suka Baye’ ini”. Sudah dua kali aku
mengelilingi terminal namun tak kulihat juga anak itu. Aku lupa menanyakan
namanya. Kucoba bertanya pada salah satu penjual di sekitar ruang tunggu.
Kusebutlah ciri-ciri anak tersebut namun
Ibu penjual itu tidak tahu. Kemudian aku berjalan lagi dan bertanya pada
anak-anak yang jualan keliling. Dia berkata bahwa anak itu sudah lama tidak
jualan lagi di sini. “Kenapa? Kenapa dia tidak jualan lagi di sini?”, kataku
kaget. “Pindahmi kak dan tidak bakalan kembalimi kesini.”, jawab anak itu. Dia
pun menceritakan kejadian beberapa minggu yang lalu. Ternyata, Ibu dari anak
itu ketahuan ingin mencuri. Korbannya sangat keberatan akan kejadian tersebut.
Padahal Ibu itu belum sempat mengambil apa-apa. Akhirnya kepala terminal
melarangnya untuk beroperasi lagi. “Lalu kemana keluarga itu pergi?”. “Dekatji
rumahnya kak, itu di samping kanannya terminal ada rumah kecil nah itumi
rumahnya”.
Aku pun bergegas keluar terminal dan
menuju rumah anak itu. Ternyata benar, hanya ada satu rumah kecil di samping
terminal. “Tok… tok tok”. Pintunya pun terbuka. Aku dipersilahkan masuk oleh
seorang Ibu yang tengah menyapu pipinya yang basah. Aku menjelaskan bagaimana
bertemu dengan anaknya. “Loh kenapa Ibu ini semakin meneteskan air matanya?”,
fikirku dalam hati. Ibu tersebut mulai menceritakan sesuatu yang tak pernah aku
duga sebelumnya. Beberapa hari yang lalu, anak tersebut tewas di perempatan
jalan di bawah Fly Over. Kepalanya remuk tergilas truk saat hendak mengamen.
Tak terasa air mataku berlinang. Aku tak percaya anak yang baik dan selalu
berusaha membantu orang tuanya bisa pergi secepat itu. Anak yang menjadi tulang
punggung keluarganya telah hilang. Aku tertegun sebentar. Dari balik jendela,
nampak kulihat anak itu tersenyum padaku sambil melambaikan tangannya. Namun
ternyata tak ada orang di balik jendela. Kupeluk erat-erat Ibunya. Aku tak tahu
mau berkata apa lagi. Tak kuduga semangatnya untuk hidup terhenti dengan cara
yang tragis. Tak sempat pula aku menepati janjiku untuk membeli jualannya saat
aku kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar